TINGKEBAN
Sejarah Munculnya Tingkeban
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia,
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut
ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah
suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati
suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya
harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan
akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang
terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan
makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat
Ponorogo.
Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan,
memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah
berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki
Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan
anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka
jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka
memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun
sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi
laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain
itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci
yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin
dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak
mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat
berkah dari Gusti Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya
adalah takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata
Gusti Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki
Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang.
Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh
para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan
harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan,
hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual
tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa
khususnya di daerah Ponorogo dan sekitarnya.
Rangkaian Acara Tingkeban
1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami –
istri pada orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari
7 sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai
untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian
dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna,
yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam
kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7
kali)
Dalam acara pantes-pantes ini
calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama
sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran.
Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan
busana-busana tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas).
Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif
sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini
merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan
hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.
5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat
perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong
(ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi
lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya
diberi kunyit sebagai tolak bala.
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua
buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang
(biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan
oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi.
Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik
dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di
tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina
yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat
lahir cukup bulan.
Di sini calon ayah duduk
mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang
disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai
habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang
bayi dapat bertumbuh dengan sehat.
Calon ayah si bayi kemudian
menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela kain 7 warna yang
melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.