Blogger news

Selasa, 25 November 2014

NITI TILAS KI AGENG PADAN ARANG




 
Sebagai salah satu bentuk pelestarian upacara tradisional sebagai perwujudan ikon bersejarah yang menjadi tonggak awal terbentuknya Kabupaten Boyolali, Ki Ageng Pandanarang adalah tokoh utama didalamnya.
Merupakan cerita masyarakat yang diwariskan secara turun temurun maupun melalui legenda-legenda .


Prosesi Kirab Niti Tilas Ki Ageng Pandanaran 













Kesenian Ketholeng


TRADISI TINGKEBAN



TINGKEBAN
Sejarah Munculnya Tingkeban
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo.
Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa khususnya di daerah Ponorogo dan sekitarnya.



Rangkaian Acara Tingkeban
1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
        Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada orangtuanya.

3. Siraman

       Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
 


4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.

5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.

6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.




7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan.


Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.








 

Blogroll