BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Pemilihan Judul
Dalam pembuatan makalah ini ,
penulis memilih judul “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Budaya secara harifah berasal dari
Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah
memelihara ladang (meurut Seorjanto Poepowardojo 1993). Menurut Koentjaraningrat
budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
dengan tata belajar.
Kebudayaan adalah hasil karya manusia
dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan
taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta
sumber-sumber alam yang ada disekitarnya.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana latar belakang kajian budaya
etnografi?
B. Apakah gotong royong itu sebenarnya?
C. Apakah nilai gotong royong itu menghambat
pembangunan?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Dalam penulisan makalah ini, penulis
mempunyai tujuan yang ingin dicapai, diantarnya sebagai berikut :
1. Untuk melengkapi tugas mata pelajaran
Pengantar Ilmu Budaya.
2. Untuk mengetahui latar belakang etnografi.
3. Ingin mengetahaui apa gotong royong itu
sebenarnya.
4. Untuk mengetahui nilai gotong royong itu
menghambat pembangunan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Etnografi
Etnogrfi adalah pendekatan empiris
dan teorites dan bertujuan mendapatkan deskrpsi dan analisis mendalam tentang
kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan yang intensif. Menurut Geeerts
(1973) etnografi bertugas membuat (pelukisan mendalam) yang mengambarkan
“kejamakan struktur-struktur konseptual yaang kompleks”, ter masuk
asumsi-asumsi yang tak terucap dan yang dianggap sebagai kewajaran mengenai
kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatianya pada detai-detail
kehidupan lokal dan menghubunkan dengan proses-proses sosial yang lebih luas.
Kajian budaya etnografi memutuskan
diri pada penjelejahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks
“keseluruhan cara hidup” , yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia kehidupan
dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorintasi media, etnografi menjadikan
kata yang mewakili beberapa metode kualitataf, termasuk pengamatan pelibatan,
wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah.
Kritik terhadap klaim epistemologis
etnografi tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan. Tidak
ada perbedaan epistmologis yang mendasar antara etnografi dan sebuah novel
berlapis-lapis yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ‘benar’
tentang dunia, melainkan untuk memelihara empati dan melebarkan lingkaran
solidaritas manusia (Rotry, 1989). Maka, seorang etnograf memiliki justifikasi
personal, puitis dan politis ketimbangan epitstemologis.
Menurut pandangan yang demikian,
data etografis berarti ekspresi puitis dan suara-suara dari budaya-budaya lian
atau dari pinggir-pinggir budaya kita sendiri. Menulis tentang suara-suara
semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporan ‘ilmiah’ tapi ekspresi
dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara baru untuk bergabung dengan apa
yang disebut Rorty ‘percakapan kosmopolitan umat manusia’. Dengan demikian data
etnografi bisa menjadi jalan dimana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing,
memungkinkan lahirnya deskripsi-deskripsi baru tentang dunia.
B.
Apakah Gotong Royong itu Sebenarnya
SEJARAH TIMBULNYA ISTILAH GOTONG ROYONG
Walaupun kini frekuensi munculnya
istilah gotong royong sudah tidak lagi sebesar waktu dalam zaman Sukarno, toh
ada beberapa cendikiawan yang dalam suatu diskusi mengenai aspek-aspek sosial
budaya dalam pembangunan, secara serius mengajukan kepada saya pertanyaan:
“Apakah sebenarnya gotong royong itu?”
Konsep gotong royong yang kita nilai
tinggi itu merupakan suatu konsep yang erat sangkut-pautnya dengan kehidupan
rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agaris. Istilahnya istilah Jawa,
tetapi rupa-ruprnya tidak amat tua. Saya pernah bertanya kepada ahli bahasa
Jawa Kuno dan Lexikograf ulung kita, Prof. Zoetmulder, tentang sosial itu.
Beliau berkata bahwa dalam seluruh kesusasteraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya
(kakawin, kidung dan sebagainya) sudah pasti tidak ada istilahnya. Rupa-rupanya
juga dalam kesusasteraan Jawa Baru (Babad, serat dan sebagainya) istilah itu
tidak ada.
Tidak adanya suatu istilah dalam
kesusastraan belum berarti bahwa dalam kenyataan bahasa sehari-hari antara
rakyat di desa-desa, istilah itu juga tidak ada. Hanya saja dari mana di Jawa
ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda satu dengan lain.Istilah gotong
royong pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang
hukum adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari
pertanian (terutama di Jawa Timur) oleh para ahli pertanian Belanda lulusan
Wageningen.
GOTONG
ROYONG DALAM BERCOCOK TANAM
Dalam kehidupan masyarakat desa di
Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tentang tambahan dari
luar kalangan keluarga, untuk mengisi keruangan tenang pada masa-masa sibuk,
dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan
itu, dengan adat sopan santun yang sudah tetap, seseorang petani meminta
beberapa orang lain sedesanya, misalnya, untuk membantunya dalam mempersiapkan
sawahnya untuk masa penanaman yang baru (memperbaiki saluran-saluran air dan
pematangan-pematangan, menyangkul, membajak, menggaru dan sebagainya ). Petani
rumah hanya menyediakan makan siang setiap hari kepada teman-temanya yang
datang membantu itu, selama pekerjaan berlangsung. Kompensasi lain tidak ada,
tetapi yang meminta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu
semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan
bantuanya. Dengan demikian sistem gotong royongsebagai suatu sistem pengerahan
tenaga seperti itu, amat cocok dan flexsibel untuk teknik bercocok tanam yang
bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu unsur uang
belum masuk ekonomi pedesaan. Tenaga tambahan dapat dikerahkan bilamana
perlu, dan segera dibubarkan lagi bila pekerjaan selesai. Di desa-desa Jawa,
kerjasama tolong menolong dalam bercocok tanam seperti itu biasanya dilakukan
antara para petani yang memiliki
bidang-bidang sawah yang berdekatan letaknya.
Dengan masuknya uang menjadi unsur
penting dalam kehidupan ekonomi pedesaan, yang beberapa daerah di Jawa sudah
mulai adad ke-19 yang lalu, tetapi di beberapa daerah lain mungkin baru
setengah abad yang lalu, maka sistem pengerahan tenaga seperti itu mulai
dianggap kurang praktis. Memeng seorang ahli pertanian Belanda yang pernah
bekerja di daerah Blitar di Jawa Timur bernama G.H Van der Kolff, menulis dalam
tahun 1920, bahwa di daearah perdesaan di Blitar itu banyak petani mulai
meninggalkan adat gotong royong dalam produksi pertanian, dan menganggap lebih
praktis untuk menyewa saja buruh tani yang di beri upah berupa uang. Di daerah
Blitar katanya, yang dalam tahun 1920 sudah merupakan daerah yang cukup padat,
banyak petani sudah tidak mempunyai tanah lagi, sehingga dapat penawaran buruh
tani yang tinggi dengan upah yang sangat rendah. Kecuali itu, menurut laporan
Van der Kolff, murid-murid dari pesantren yang banyak terdapat didesa-desa
situ, juga sering menawarkan jasa mereka sebagai buruh tani. Dalam tahun
1920-an, di daearah Blitar jasa buruh tani juga banyak ditawarkan oleh penduduk
wanita di desa-desa. Mereka banyak dikerahkan untuk pekerja memindahkan bibit
padi dari pesemian untuk ditanam di sawah. Untuk itu mereka juga diberi upah
harian berupa uang(lihat karangan G.H Van der Kolff, De Historische
ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een Afgelegan
Streek op Java).
Saya sendiri pernah mangadakan
penelitian yang khususnya mengenai aktivitas-aktivitas gotong royong di
beberapa desa di Jawa Tengah bagian selatan (Kebumen, Karanganyar) dalam tahun
1958 dan 1959. Di desa-desa daearah itu, gotong royong disebut sambatan,
dan memeng mempunyai fungsi seperti tertuai di atas. Istilah sambatan
itu berasal dari kata sambat, artinya “minta bantuan”. Menarik adalah di sini
persamaan dengan istilahnya dalam bahasa Jerman bitarbeit, artinya
“pekerjaan bantuan yang diminta” (dari kata bitten=minta) untuk aktivitas
gotong royong seperti itu juga, yang kira-kira setengah abad yang lalu masih
juga dilakukan di daerah perdesaan di Jerman.
Waktu saya mengadakan penelitian di
daerah Karanganyar-Kebumen itu, sudah ada anggapan bahwa menyewa buruh tani
dengan upah uang itu jauh lebih pratis dari pada menyambaat orang tetangga
dengan sopan-santun adat dan dengan kewajiban menjamu yang amat merepotkan.
Memang daerah Karanganyar-Kebumen merupakan salah satu daerah yang paling padat
di Jawa, maka buruh tani disana sangat murah.
Adat sambatan, walaupun oleh
sebagian besar petani di daerah Karanganyar-Kebumen sudah dianggap kurang
praktis , toh masih dilakukan oleh suatu bagian cukup besardari para petani di
sana sekitar taun 1959 itu. Istilah gotong royong , buru saja dikenel para
petani di dana, ketika tiga-empat tahun sebelumnya, istilah itu di introduksi
di daerah itu selama kampanye pemilu berlangsung.
AKTIVITAS TOLONG MENOLONG DALAM
MASYARAKAT DESA
Kecuali dalam sambatan dalam
produksi produksi pertanian, aktivitas tolong menolong juga tampak dalam aktivitas kehidupan
masyarakat yang lain, ialah:
v Aktivitas
tolong menolong antara tetangga yang
tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan
pekarangan, misalnya: menggali sumur, mengganti diding bambu dari rumah,
membersikan rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya. Adat untuk
meminta bantuan tetangga guna pekerjaan-pekerjaan serupa itu di daerah
Karanganyar-Kebumen dikonsepsikan sebagai suatu hal yang berbeda dengan
sambatan, dan disebut dengan istilah yang lain. Ialah guyuban.
v Aktivitas
tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang
paling dekat) untuk menyelanggarakan pesta sunat, perkawinan atau
upacara-upacara adat lain sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu
(hamil jujuh bulan, kelahiran, melepaskan tali pusat,kontak pertama dari bayi
dengan tanah, pemberian nama, pemotongan rambut untuk pertama kali, pengesahan
gigi dan sebagainya). Adat tolong menolong antara kaum kerabat seperti itu di
daerah Karanganyar-Kebumen disebut njurung.
v Aktivitas
spotan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membuat secara spotan pada waktu
seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana. Adat untuk membantu
secara spotan seperti itu, di daerah Karanganyar-Kebumen disebut tetulung
layat.
Di antara keempat bentuk
aktivitas tolong menolong tersebut di atas, yaitu sambatan, guyuban, njurung dan
tetulung layat, ada suatu perbedaan dalam hal sifat spontanitas yang
menjiwai keempat aktivitas itu sambatan dilakukan dalam suasanayang
tidak spontan, melaikan dalam suasana memperhitungkan jasa dan kopensasanya
secara tajam dan berazasguna, demikian juga dengan guyuban, walaupun suasana
spotan dan persaudaraan antara tetangga dekat sudah lebih tampak. Adapun
suasana spotan tanpa pamrih yang paling besar tampak dalam peristiwa tetulung
layat, pada waktu orang membantu orang lain pada peritiwa adanya
kematian dan bencana.
KERJA BAKTI
Akhirnya perlu disebut satu
aktivitas pengerahan tenaga yang sering juga disebut gotong royong, ialah
pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum
atau yang berguna untuk pemerintah. Sistem itu berasal dari zaman
kerajaan-kerajaan kuno, di mana rakyat di desa dapat dikerahkan untuk bekerja
tanpa bayaran dalam proyek-proyek pembangunan bagi raja, bagi agama, atau bagi
kerajaan. Dalam zaman penjajah sistem kerja bakti itu dipergunakan untuk
mengarahkan tenaga bagi proyek-proyek pemeritah kolonial. Dalam zaman
kemerdekaan, sistem itu digunakan secara leluasa dalam pembangunan. Di daearh
Karanganyar-Kebumen sistem itu disebut kerigan, sedangkan di tempat-tempat
lain di Jawa, ada sebutan-sebutan seperti gugur gunung, rodi, kompenian
dan lain-lain.
C. Nilai Gotong Royong Menghambat Pembangunan
Suatu pertanyaan penting yang
sampai sekarang yang sering diajukan
kepada saya adalah: “Apakah gotong royong itu sebenarnya?” jawaban yang saya
berikan terhadap pertayaan tersebut sudah saya tulis dalam karangan yang lalu
dalam sehari ini. Sebagai lanjutan sering diajukan suatu pertanyaan lain,
ialah: “Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?”
Untuk menjawab pertanyaan itu
perlu didentifikasiduli dengan tajam konsep “ nilai gotong royong”. Nilai yang
merupakan latar belakang dari segala aktivitas tolong menolong antara warga
desa, yang telah diuraikan dalam tulisan yang lalu dalam seri ini, harus
dilekaskan dalam golongan nilai-nilai budaya yang mengenai masalah dasar MM
(hakekat hubungan manusia dengan sesamanya). Dalam sistem nilai budaya orang
Indonesia nilai itu mengandung 4 konsep, yaitu:
v Manusia
itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oloh komunitasnya,
masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam sistem makrokosmos tersebutia
merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oloh
proses peredaran alam semesta yang maha
besar itu.
v Dengan
demikian dalam segala aspek kehidupan nya manusia pada hakekatnya tergantung
pada sesamanya.
v Karena
itu ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik
dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata, sama-rasa
v Selalu
berusa untuk sedapat mungkin bersifat konfrom, berbuat sama dan bersamadengan
sesamanyadalam komunitas, terdolong oleh jiwa sama-tinggi, sama-rendah.
Tema dalam berpikir dalam
konsep yang pertama berpangkal kepada alam semesta dan masyarakat besar, dan
memperkuatsuatu konsep lain ialah konsep nasib, yang menjadi amat penting dalam
pandangan hidup manusia Indonesia pada umumnya. Tema cara berpikir ini tentu
amat kontras dengan dengan tema cara berpikir yang lazim dalam kehidupan orang
Eropa barat dan Amerika misalnya, yang berpangkal pada individu dan yang
seolah-olah melihat keluar untuk menanggapi masyarakat dan alam semesta sebagai
obyek analisis dari akal manusia. Dalam suatu pandangan hidup seperti itu sudah
barang tertentu hampir tak akan ada tempat untuk kosep nasib. Sebaiknya, tema
cara berpikir dalam konsep yang pertama membantu kita lebih mudah menerima
penderitaan, kesedihan, kesukaran, bencana dan maut.
Tema pertama bersama dengan
tema kedua mengenai sifat ketergantungankita kepada sesama kita,memberi kepada
kita suatu rasa keamanan nurani yang amat dalam dan mantab. Dalam mentalitas
kita sering malayang pikiran bahwa kalau kita tertimpa bencana, pasti toh ada
sesama kita dalam masyarakat yang akan mendapat bantuan.dalam suatu pandangan
hidup seperti itu hampir tak akan ada tempatuntuk perasaan terosolasi dan
perasaan sebatangkara.
Tema cara berpikir ketiga
menjadi nilai-nilai budaya yang boleh dikatakan telah mendominasi kehidapan
kita, orang Indosesia, sampai keadaan keperilakuan dan perbuatan kita yang
kecil-kecilsehari-hari dalam hal hubungan kita dan sesama kita. Nilai itu
merupakan latar belakang dari sopan satun kita untuk membagi dengan tetangga
dekat apabila kita kebetulan mempunyai sesuatu hasil bumi atau makanan dalam
jumlah yang lebih. Nilai itu merupakan latar belakang dari sopan santun kita
untuk memberi oleh-oleh kepada tetangga apabila kita baru pulang dari suatu
perjalanan jauh dan nilai itu menjadi latar belakang dari segala aktivitas
tolong menolongdalam pertanian dan dalam kehidupan antar tetangga atau antar
kaum kerabat dalam komunitas para petani kita di desa, seperti apa yang telah
saya uraikan dalam karangan yang lalu dalam bunga rampai ini.
Tema ketiga dalam nilai
gotomg royong tadi tentu amat baik dan positif sifatnya. Ada orang-orang
berkata bahwa nilai ini mempunyai segi negatifnya karena mancegah kita untuk
maju secara ekonomis. Hal itu disebabkan karena segera setelah kita memiliki
harta sedikit agak banyak saja daripada tetangga atau kaum kerabat kita, maka
terdorong oleh tema sama-rata, sama-rasa, kita segera memberi harta atau
ketentuan kita. Mungkin hal itu benar, tetapi asalkan sifat itu dapat kita
kendalikan agar tidak mendaji terlampau extrem, maka tidak perlulhasifat itu
menghambat kemajuan ekonomi kita. Pada haketatnya semua nilai, semua konsep,
dan semua ide manusia, apabila diliksanakan dengan terlaumpau extrem akan
menjadi negatif dan kurang baik.
Lain daripada itu adalah tema keempat, yang juga amat kuat berakar dalam
alam pikiran banyak orang dalam masyarakat kita,terutama yang hidup dalam
kominitas kecil seperti desa.menurut hemat saya, tema inilah yang merupakan
satu-satunyaunsur negatif dari nilai gotong royong. Hal itu disebabkan karena
konsep sama-tinggi, sama-rendah sebagai suatu kekuatan mecegah bakat dan
menonjol atas yang lain. “Apakah konsep sama-tinggi, sama-rendah itu bukan
suatu konsep yang menjadi landasan dari demokrasi asli Indonesia?” tanya
beberapa teman sejawat. Hal itu memeng benar, dan berfungsi nyata misalnya
dalam kominitas nagari di Minangkabau atau daerah-daerah lain di Sumatra dan di
seluruh Indonesia dimana kelompok-kelompok kekerabatan yang luas itu (keluaga
luas, klen dan sebagainya) merupakan dasar sususan komunitas desa.
Memang demokrasi asli
Indonesia di dalam masyarakat desa itu sebenarnya adalah suatu demokrasi yang
terbatas fungsi dan ruang lingkupnya, karena hanya mengenai kehidupan dalam
batas-batas struktur kekerabatan. Kalau prinsip-prinsip ikatan kekerabatan itu
berfungsi luas dalam masyarakat desa misalnya prinsip-prinsip ikatan suku dalam
nasyarakat nagari di Minangkabau, atau prinsip ikatan marga dalam masyarakat
kuta di Batak Toba, atau prinsip-prinsip ikatan dadia dalam masyarakat
Banjar di Bali Selatan, maka konsep sema-tinggi, sama-rendah itu memeng bisa
menggerakan demokrasi desa dalam banyak lapangan hidup. Sebaliknya, kalau
seperti dalam banyak desa-desa di Jawa, prinsip-prinsip ikatan kekerabatan itu
tidak mempunyai peran penting dalam komunitas desa, maka jiwa sama-tinggi,
sama-rendah ditumpangi dan dimatikan oleh suatu nilai budaya lain, ialah nilai
yang berorintasi vertikal ke atas, ke pembesar-pembesar yang berpangkat tinggi,
orang senior dan sebagainya.
Apa yabg disebut demokrasi
dalam masyarakat pedesaan di Jawa bukan demokrasi yang berdasarkan konsep
sama-tinggi, sama-rendah, tetapai mengenai prosedur untuk mengambil
keputusan-keputusan dalam rapat-rapat desa(ialah prosedur berapat yang disebut
musyawarah).
Saya merasa sudah
terlampau panjang melarut mengenai masalah demokrasi asli Indonesia ini,
padahal sebenarnya tidak perlu, karena sudah ada suatu studi oleh seorang ahli
hukum adat Belanda, B.J Haga. Hal-hal yang terurai di atas dapat di temukan
secara luas dengan banyak contoh dan data dalam disertasinya, Indonesische en Indische Democratie
(1942). Saya sekarang akan kembali kepada pertanyaan pangkal dari karangan ini,
ialah: “Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?”
Kalau
apa yang dimaksud dengan gotong royong dalah aktivitas aktivitas tolong
menolong dan sistem tukar menukar tetangga antara petani dalam produksi
bercocok tanam, aktivitas-akivitas tolong menolong antara tetangga, atau antar
kaum kerabat dalam masyarakat desa kecil (semua itu sudah dibicarakan dalam
karangan yang lalu dalam seri ini), maka sudah tentu gotong royong tak ada
banyak sangkut pautnya dengan pebangunan karena itu tidak menghambat
pembangunan. Kalau kehidupan masyarakat desa sudah menjadi lebih kompek dan
kalau para petani dudah tidak merasakan lagi manfaat dari sistem-sistem tolong
menolong seperti tersebut di atas, maka gotong royong dalam arti tersebut akan
menghilang tanpa banyak ketegangan atau pertentangan dari penduduk desa
sendiri.
Kalau apa yang dimaksud
dengan gotong royong itu adalah sistem kerja bakti, maka mungkin malahan bisa
menunjang pembangunan. Hanya saja soalnya adalah bahwa sistem itu tidak sesuai
lagi dengan etnik zaman sekarang. Hal itu karena membangun bedasarkan gotong
royong kerja bakti itu, sebenarnya adalah membangun dengan mengekplotasi tenaga
murah rakyat (menjadi berbau feodal dan kolonial). Lain halnya kalau rakyt
mengerjakan suatu proyek berdasarkan gotong royong dengan rasa rela karena
yakin bahwa proyek itu bermafaat bagi kita. Barulha merekan akan melakukan kerja
bakti dengan sungguh-sungguh dan bukan kerja rodi.
Kalau yang dimaksud
dengan gotong royong itu adalah komplek nilai budaya yang terdiri dari keempat
tema terurai di atas, maka gotong royong menurut hemat saya tidak menghambat
pembangunan kecuali tema kedua, kalau tema itu terlampau banyak berkembang
kearah suatu mentalitas terlampau terorintasi terhadap nasib, dan tema keempat,
ialah tema sama-tinggi, sama-rendah tadi. Dengan singkat, apa yang bisa kita
ambil dari gotong royong untuk pembangunan kita sekrang ini terutama adalah
semangatnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah konsep gotong
royong, tolong mrnolong, yang mula-mula hanya berwujud sebagai suatu sistem
pengarah tenaga tambahan pada masa-masa sibuk dalam produksi bercocok tanam,
sebagai sisrem tolong menolong antara tetangga dan kerabat dalam
kesibakuan-kasibukan sekitar rumah tangg, waktu berpesta, dan pada
peristiwa-peristiwakematian dan bencana, dijadikan satu dengan sistem rodi itu?
Rupa-rupanya sejarah mulai waktu Panitnya persiapan Kemerdekaan dalam zaman
Jepang, menganngkat konsep itu menjadi suatu unsur yang amat penting dalam
rangkaian prinsip-prinsip dasar dari negara kita.
B. Saran
Kebudayan sangat erat
hubunganya dengan msyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya dalam mempertahankan
hidup, menembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan
segala keterbatasan kelengkapan jasmani serta sumber-sumberalam yang ada
disekitarnya.kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwududan tanggapan manusia
terhadap tatangn yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan
lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmudah. 2001”Citra Perempuan dalam
Media Masa: Upaya Peneretaraan Gender”. Munusia
dan Dinamika Budaya. Yogyakarta.
Strinati, Dominic. 1995 popular culture : An Introduction to
Tbeories of Popular Culture. London : Routledge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar