Blogger news

Senin, 08 Desember 2014

Budaya Jawa Etnografi



BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang Pemilihan Judul                        
           Dalam pembuatan makalah ini , penulis memilih judul “Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
           Budaya secara harifah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah memelihara ladang (meurut Seorjanto Poepowardojo 1993). Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dengan tata belajar.
          Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber-sumber alam yang ada disekitarnya.
B. Rumusan Masalah
   A. Bagaimana latar belakang kajian budaya etnografi?
   B. Apakah gotong royong itu sebenarnya?
   C. Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?

C. Tujuan Penulisan Makalah
   Dalam penulisan makalah ini, penulis mempunyai tujuan yang ingin dicapai, diantarnya sebagai berikut :
  1. Untuk melengkapi tugas mata pelajaran Pengantar Ilmu Budaya.
  2. Untuk mengetahui latar belakang etnografi.                                           
  3. Ingin mengetahaui apa gotong royong itu sebenarnya.
  4. Untuk mengetahui nilai gotong royong itu menghambat pembangunan.





BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Etnografi
           Etnogrfi adalah pendekatan empiris dan teorites dan bertujuan mendapatkan deskrpsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan yang intensif. Menurut Geeerts (1973) etnografi bertugas membuat (pelukisan mendalam) yang mengambarkan “kejamakan struktur-struktur konseptual yaang kompleks”, ter masuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan yang dianggap sebagai kewajaran mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatianya pada detai-detail kehidupan lokal dan menghubunkan dengan proses-proses sosial yang lebih luas.
           Kajian budaya etnografi memutuskan diri pada penjelejahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks “keseluruhan cara hidup” , yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia kehidupan dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorintasi media, etnografi menjadikan kata yang mewakili beberapa metode kualitataf, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah.
           Kritik terhadap klaim epistemologis etnografi tidak lantas membuatnya tidak bernilai atau harus ditinggalkan. Tidak ada perbedaan epistmologis yang mendasar antara etnografi dan sebuah novel berlapis-lapis yang tujuannya bukanlah untuk menghasilkan gambaran yang ‘benar’ tentang dunia, melainkan untuk memelihara empati dan melebarkan lingkaran solidaritas manusia (Rotry, 1989). Maka, seorang etnograf memiliki justifikasi personal, puitis dan politis ketimbangan epitstemologis.
           Menurut pandangan yang demikian, data etografis berarti ekspresi puitis dan suara-suara dari budaya-budaya lian atau dari pinggir-pinggir budaya kita sendiri. Menulis tentang suara-suara semacam itu tidak lagi dianggap sebagai suatu laporan ‘ilmiah’ tapi ekspresi dan narasi puitis yang memunculkan suara-suara baru untuk bergabung dengan apa yang disebut Rorty ‘percakapan kosmopolitan umat manusia’. Dengan demikian data etnografi bisa menjadi jalan dimana budaya kita sendiri dibuat menjadi asing, memungkinkan lahirnya deskripsi-deskripsi baru tentang dunia.


B. Apakah Gotong Royong itu Sebenarnya
SEJARAH TIMBULNYA ISTILAH GOTONG ROYONG
           Walaupun kini frekuensi munculnya istilah gotong royong sudah tidak lagi sebesar waktu dalam zaman Sukarno, toh ada beberapa cendikiawan yang dalam suatu diskusi mengenai aspek-aspek sosial budaya dalam pembangunan, secara serius mengajukan kepada saya pertanyaan: “Apakah sebenarnya gotong royong itu?”                                                                                                      
           Konsep gotong royong yang kita nilai tinggi itu merupakan suatu konsep yang erat sangkut-pautnya dengan kehidupan rakyat kita sebagai petani dalam masyarakat agaris. Istilahnya istilah Jawa, tetapi rupa-ruprnya tidak amat tua. Saya pernah bertanya kepada ahli bahasa Jawa Kuno dan Lexikograf ulung kita, Prof. Zoetmulder, tentang sosial itu. Beliau berkata bahwa dalam seluruh kesusasteraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (kakawin, kidung dan sebagainya) sudah pasti tidak ada istilahnya. Rupa-rupanya juga dalam kesusasteraan Jawa Baru (Babad, serat dan sebagainya) istilah itu tidak ada.
          Tidak adanya suatu istilah dalam kesusastraan belum berarti bahwa dalam kenyataan bahasa sehari-hari antara rakyat di desa-desa, istilah itu juga tidak ada. Hanya saja dari mana di Jawa ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda satu dengan lain.Istilah gotong royong pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang hukum adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian (terutama di Jawa Timur) oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen.

GOTONG ROYONG DALAM BERCOCOK TANAM
          Dalam kehidupan masyarakat desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengerahan tentang tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi keruangan tenang pada masa-masa sibuk, dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam di sawah. Untuk keperluan itu, dengan adat sopan santun yang sudah tetap, seseorang petani meminta beberapa orang lain sedesanya, misalnya, untuk membantunya dalam mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru (memperbaiki saluran-saluran air dan pematangan-pematangan, menyangkul, membajak, menggaru dan sebagainya ). Petani rumah hanya menyediakan makan siang setiap hari kepada teman-temanya yang datang membantu itu, selama pekerjaan berlangsung. Kompensasi lain tidak ada, tetapi yang meminta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuanya. Dengan demikian sistem gotong royongsebagai suatu sistem pengerahan tenaga seperti itu, amat cocok dan flexsibel untuk teknik bercocok tanam yang bersifat usaha kecil dan terbatas, terutama waktu unsur  uang  belum masuk ekonomi pedesaan. Tenaga tambahan dapat dikerahkan bilamana perlu, dan segera dibubarkan lagi bila pekerjaan selesai. Di desa-desa Jawa, kerjasama tolong menolong dalam bercocok tanam seperti itu biasanya dilakukan antara para petani yang  memiliki bidang-bidang sawah yang berdekatan letaknya.

           Dengan masuknya uang menjadi unsur penting dalam kehidupan ekonomi pedesaan, yang beberapa daerah di Jawa sudah mulai adad ke-19 yang lalu, tetapi di beberapa daerah lain mungkin baru setengah abad yang lalu, maka sistem pengerahan tenaga seperti itu mulai dianggap kurang praktis. Memeng seorang ahli pertanian Belanda yang pernah bekerja di daerah Blitar di Jawa Timur bernama G.H Van der Kolff, menulis dalam tahun 1920, bahwa di daearah perdesaan di Blitar itu banyak petani mulai meninggalkan adat gotong royong dalam produksi pertanian, dan menganggap lebih praktis untuk menyewa saja buruh tani yang di beri upah berupa uang. Di daerah Blitar katanya, yang dalam tahun 1920 sudah merupakan daerah yang cukup padat, banyak petani sudah tidak mempunyai tanah lagi, sehingga dapat penawaran buruh tani yang tinggi dengan upah yang sangat rendah. Kecuali itu, menurut laporan Van der Kolff, murid-murid dari pesantren yang banyak terdapat didesa-desa situ, juga sering menawarkan jasa mereka sebagai buruh tani. Dalam tahun 1920-an, di daearah Blitar jasa buruh tani juga banyak ditawarkan oleh penduduk wanita di desa-desa. Mereka banyak dikerahkan untuk pekerja memindahkan bibit padi dari pesemian untuk ditanam di sawah. Untuk itu mereka juga diberi upah harian berupa uang(lihat karangan G.H Van der Kolff, De Historische ontwikkeling van de Arbeidsverhoudingen bij de Rijstcultuur in een Afgelegan Streek op Java).
          Saya sendiri pernah mangadakan penelitian yang khususnya mengenai aktivitas-aktivitas gotong royong di beberapa desa di Jawa Tengah bagian selatan (Kebumen, Karanganyar) dalam tahun 1958 dan 1959. Di desa-desa daearah itu, gotong royong disebut sambatan, dan memeng mempunyai fungsi seperti tertuai di atas. Istilah sambatan itu berasal dari kata sambat, artinya “minta bantuan”. Menarik adalah di sini persamaan dengan istilahnya dalam bahasa Jerman bitarbeit, artinya “pekerjaan bantuan yang diminta” (dari kata bitten=minta) untuk aktivitas gotong royong seperti itu juga, yang kira-kira setengah abad yang lalu masih juga dilakukan di daerah perdesaan di Jerman.
          Waktu saya mengadakan penelitian di daerah Karanganyar-Kebumen itu, sudah ada anggapan bahwa menyewa buruh tani dengan upah uang itu jauh lebih pratis dari pada menyambaat orang tetangga dengan sopan-santun adat dan dengan kewajiban menjamu yang amat merepotkan. Memang daerah Karanganyar-Kebumen merupakan salah satu daerah yang paling padat di Jawa, maka buruh tani disana sangat murah.
          Adat sambatan, walaupun oleh sebagian besar petani di daerah Karanganyar-Kebumen sudah dianggap kurang praktis , toh masih dilakukan oleh suatu bagian cukup besardari para petani di sana sekitar taun 1959 itu. Istilah gotong royong , buru saja dikenel para petani di dana, ketika tiga-empat tahun sebelumnya, istilah itu di introduksi di daerah itu selama kampanye pemilu berlangsung.
 

AKTIVITAS TOLONG MENOLONG DALAM MASYARAKAT DESA
           Kecuali dalam sambatan dalam produksi produksi pertanian, aktivitas tolong menolong  juga tampak dalam aktivitas kehidupan masyarakat yang lain, ialah:
v  Aktivitas tolong menolong antara tetangga yang  tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya: menggali sumur, mengganti diding bambu dari rumah, membersikan rumah dan atap rumah dari hama tikus dan sebagainya. Adat untuk meminta bantuan tetangga guna pekerjaan-pekerjaan serupa itu di daerah Karanganyar-Kebumen dikonsepsikan sebagai suatu hal yang berbeda dengan sambatan, dan disebut dengan istilah yang lain. Ialah guyuban.
v  Aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelanggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara adat lain sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu (hamil jujuh bulan, kelahiran, melepaskan tali pusat,kontak pertama dari bayi dengan tanah, pemberian nama, pemotongan rambut untuk pertama kali, pengesahan gigi dan sebagainya). Adat tolong menolong antara kaum kerabat seperti itu di daerah Karanganyar-Kebumen disebut njurung.
v  Aktivitas spotan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membuat secara spotan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana. Adat untuk membantu secara spotan seperti itu, di daerah Karanganyar-Kebumen disebut tetulung layat.
              Di antara keempat bentuk aktivitas tolong menolong tersebut di atas, yaitu sambatan, guyuban, njurung dan tetulung layat, ada suatu perbedaan dalam hal sifat spontanitas yang menjiwai keempat aktivitas itu sambatan dilakukan dalam suasanayang tidak spontan, melaikan dalam suasana memperhitungkan jasa dan kopensasanya secara tajam dan berazasguna, demikian juga dengan guyuban, walaupun suasana spotan dan persaudaraan antara tetangga dekat sudah lebih tampak. Adapun suasana spotan tanpa pamrih yang paling besar tampak dalam peristiwa tetulung layat, pada waktu orang membantu orang lain pada peritiwa adanya kematian dan bencana.
  

KERJA BAKTI
              Akhirnya perlu disebut satu aktivitas pengerahan tenaga yang sering juga disebut gotong royong, ialah pengerahan tenaga tanpa bayaran untuk suatu proyek yang bermanfaat untuk umum atau yang berguna untuk pemerintah. Sistem itu berasal dari zaman kerajaan-kerajaan kuno, di mana rakyat di desa dapat dikerahkan untuk bekerja tanpa bayaran dalam proyek-proyek pembangunan bagi raja, bagi agama, atau bagi kerajaan. Dalam zaman penjajah sistem kerja bakti itu dipergunakan untuk mengarahkan tenaga bagi proyek-proyek pemeritah kolonial. Dalam zaman kemerdekaan, sistem itu digunakan secara leluasa dalam pembangunan. Di daearh Karanganyar-Kebumen sistem itu disebut kerigan, sedangkan di tempat-tempat lain di Jawa, ada sebutan-sebutan seperti gugur gunung, rodi, kompenian dan lain-lain.
                                                                                                                                                           
C. Nilai Gotong Royong Menghambat Pembangunan
              Suatu pertanyaan penting yang sampai sekarang  yang sering diajukan kepada saya adalah: “Apakah gotong royong itu sebenarnya?” jawaban yang saya berikan terhadap pertayaan tersebut sudah saya tulis dalam karangan yang lalu dalam sehari ini. Sebagai lanjutan sering diajukan suatu pertanyaan lain, ialah: “Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?”
              Untuk menjawab pertanyaan itu perlu didentifikasiduli dengan tajam konsep “ nilai gotong royong”. Nilai yang merupakan latar belakang dari segala aktivitas tolong menolong antara warga desa, yang telah diuraikan dalam tulisan yang lalu dalam seri ini, harus dilekaskan dalam golongan nilai-nilai budaya yang mengenai masalah dasar MM (hakekat hubungan manusia dengan sesamanya). Dalam sistem nilai budaya orang Indonesia nilai itu mengandung 4 konsep, yaitu:
v  Manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oloh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam sistem makrokosmos tersebutia merasakan dirinya hanya sebagai suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oloh proses peredaran alam semesta yang  maha besar itu.
v  Dengan demikian dalam segala aspek kehidupan nya manusia pada hakekatnya tergantung pada sesamanya.
v  Karena itu ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata, sama-rasa
v  Selalu berusa untuk sedapat mungkin bersifat konfrom, berbuat sama dan bersamadengan sesamanyadalam komunitas, terdolong oleh jiwa sama-tinggi, sama-rendah.
  
                 Tema dalam berpikir dalam konsep yang pertama berpangkal kepada alam semesta dan masyarakat besar, dan memperkuatsuatu konsep lain ialah konsep nasib, yang menjadi amat penting dalam pandangan hidup manusia Indonesia pada umumnya. Tema cara berpikir ini tentu amat kontras dengan dengan tema cara berpikir yang lazim dalam kehidupan orang Eropa barat dan Amerika misalnya, yang berpangkal pada individu dan yang seolah-olah melihat keluar untuk menanggapi masyarakat dan alam semesta sebagai obyek analisis dari akal manusia. Dalam suatu pandangan hidup seperti itu sudah barang tertentu hampir tak akan ada tempat untuk kosep nasib. Sebaiknya, tema cara berpikir dalam konsep yang pertama membantu kita lebih mudah menerima penderitaan, kesedihan, kesukaran, bencana dan maut.
                 Tema pertama bersama dengan tema kedua mengenai sifat ketergantungankita kepada sesama kita,memberi kepada kita suatu rasa keamanan nurani yang amat dalam dan mantab. Dalam mentalitas kita sering malayang pikiran bahwa kalau kita tertimpa bencana, pasti toh ada sesama kita dalam masyarakat yang akan mendapat bantuan.dalam suatu pandangan hidup seperti itu hampir tak akan ada tempatuntuk perasaan terosolasi dan perasaan sebatangkara.
                   Tema cara berpikir ketiga menjadi nilai-nilai budaya yang boleh dikatakan telah mendominasi kehidapan kita, orang Indosesia, sampai keadaan keperilakuan dan perbuatan kita yang kecil-kecilsehari-hari dalam hal hubungan kita dan sesama kita. Nilai itu merupakan latar belakang dari sopan satun kita untuk membagi dengan tetangga dekat apabila kita kebetulan mempunyai sesuatu hasil bumi atau makanan dalam jumlah yang lebih. Nilai itu merupakan latar belakang dari sopan santun kita untuk memberi oleh-oleh kepada tetangga apabila kita baru pulang dari suatu perjalanan jauh dan nilai itu menjadi latar belakang dari segala aktivitas tolong menolongdalam pertanian dan dalam kehidupan antar tetangga atau antar kaum kerabat dalam komunitas para petani kita di desa, seperti apa yang telah saya uraikan dalam karangan yang lalu dalam bunga rampai ini.
                    Tema ketiga dalam nilai gotomg royong tadi tentu amat baik dan positif sifatnya. Ada orang-orang berkata bahwa nilai ini mempunyai segi negatifnya karena mancegah kita untuk maju secara ekonomis. Hal itu disebabkan karena segera setelah kita memiliki harta sedikit agak banyak saja daripada tetangga atau kaum kerabat kita, maka terdorong oleh tema sama-rata, sama-rasa, kita segera memberi harta atau ketentuan kita. Mungkin hal itu benar, tetapi asalkan sifat itu dapat kita kendalikan agar tidak mendaji terlampau extrem, maka tidak perlulhasifat itu menghambat kemajuan ekonomi kita. Pada haketatnya semua nilai, semua konsep, dan semua ide manusia, apabila diliksanakan dengan terlaumpau extrem akan menjadi negatif dan kurang baik.

  Lain daripada itu adalah tema keempat, yang juga amat kuat berakar dalam alam pikiran banyak orang dalam masyarakat kita,terutama yang hidup dalam kominitas kecil seperti desa.menurut hemat saya, tema inilah yang merupakan satu-satunyaunsur negatif dari nilai gotong royong. Hal itu disebabkan karena konsep sama-tinggi, sama-rendah sebagai suatu kekuatan mecegah bakat dan menonjol atas yang lain. “Apakah konsep sama-tinggi, sama-rendah itu bukan suatu konsep yang menjadi landasan dari demokrasi asli Indonesia?” tanya beberapa teman sejawat. Hal itu memeng benar, dan berfungsi nyata misalnya dalam kominitas nagari di Minangkabau atau daerah-daerah lain di Sumatra dan di seluruh Indonesia dimana kelompok-kelompok kekerabatan yang luas itu (keluaga luas, klen dan sebagainya) merupakan dasar sususan komunitas desa.
                    Memang demokrasi asli Indonesia di dalam masyarakat desa itu sebenarnya adalah suatu demokrasi yang terbatas fungsi dan ruang lingkupnya, karena hanya mengenai kehidupan dalam batas-batas struktur kekerabatan. Kalau prinsip-prinsip ikatan kekerabatan itu berfungsi luas dalam masyarakat desa misalnya prinsip-prinsip ikatan suku dalam nasyarakat nagari di Minangkabau, atau prinsip ikatan marga dalam masyarakat kuta di Batak Toba, atau prinsip-prinsip ikatan dadia dalam masyarakat Banjar di Bali Selatan, maka konsep sema-tinggi, sama-rendah itu memeng bisa menggerakan demokrasi desa dalam banyak lapangan hidup. Sebaliknya, kalau seperti dalam banyak desa-desa di Jawa, prinsip-prinsip ikatan kekerabatan itu tidak mempunyai peran penting dalam komunitas desa, maka jiwa sama-tinggi, sama-rendah ditumpangi dan dimatikan oleh suatu nilai budaya lain, ialah nilai yang berorintasi vertikal ke atas, ke pembesar-pembesar yang berpangkat tinggi, orang senior dan sebagainya.
                     Apa yabg disebut demokrasi dalam masyarakat pedesaan di Jawa bukan demokrasi yang berdasarkan konsep sama-tinggi, sama-rendah, tetapai mengenai prosedur untuk mengambil keputusan-keputusan dalam rapat-rapat desa(ialah prosedur berapat yang disebut musyawarah).
                     Saya merasa sudah terlampau panjang melarut mengenai masalah demokrasi asli Indonesia ini, padahal sebenarnya tidak perlu, karena sudah ada suatu studi oleh seorang ahli hukum adat Belanda, B.J Haga. Hal-hal yang terurai di atas dapat di temukan secara luas dengan banyak contoh dan data dalam disertasinya, Indonesische en Indische Democratie (1942). Saya sekarang akan kembali kepada pertanyaan pangkal dari karangan ini, ialah: “Apakah nilai gotong royong itu menghambat pembangunan?”
            Kalau apa yang dimaksud dengan gotong royong dalah aktivitas aktivitas tolong menolong dan sistem tukar menukar tetangga antara petani dalam produksi bercocok tanam, aktivitas-akivitas tolong menolong antara tetangga, atau antar kaum kerabat dalam masyarakat desa kecil (semua itu sudah dibicarakan dalam karangan yang lalu dalam seri ini), maka sudah tentu gotong royong tak ada banyak sangkut pautnya dengan pebangunan karena itu tidak menghambat pembangunan. Kalau kehidupan masyarakat desa sudah menjadi lebih kompek dan kalau para petani dudah tidak merasakan lagi manfaat dari sistem-sistem tolong menolong seperti tersebut di atas, maka gotong royong dalam arti tersebut akan menghilang tanpa banyak ketegangan atau pertentangan dari penduduk desa sendiri.
                      Kalau apa yang dimaksud dengan gotong royong itu adalah sistem kerja bakti, maka mungkin malahan bisa menunjang pembangunan. Hanya saja soalnya adalah bahwa sistem itu tidak sesuai lagi dengan etnik zaman sekarang. Hal itu karena membangun bedasarkan gotong royong kerja bakti itu, sebenarnya adalah membangun dengan mengekplotasi tenaga murah rakyat (menjadi berbau feodal dan kolonial). Lain halnya kalau rakyt mengerjakan suatu proyek berdasarkan gotong royong dengan rasa rela karena yakin bahwa proyek itu bermafaat bagi kita. Barulha merekan akan melakukan kerja bakti dengan sungguh-sungguh dan bukan kerja rodi.
                      Kalau yang dimaksud dengan gotong royong itu adalah komplek nilai budaya yang terdiri dari keempat tema terurai di atas, maka gotong royong menurut hemat saya tidak menghambat pembangunan kecuali tema kedua, kalau tema itu terlampau banyak berkembang kearah suatu mentalitas terlampau terorintasi terhadap nasib, dan tema keempat, ialah tema sama-tinggi, sama-rendah tadi. Dengan singkat, apa yang bisa kita ambil dari gotong royong untuk pembangunan kita sekrang ini terutama adalah semangatnya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
                        Sejarah konsep gotong royong, tolong mrnolong, yang mula-mula hanya berwujud sebagai suatu sistem pengarah tenaga tambahan pada masa-masa sibuk dalam produksi bercocok tanam, sebagai sisrem tolong menolong antara tetangga dan kerabat dalam kesibakuan-kasibukan sekitar rumah tangg, waktu berpesta, dan pada peristiwa-peristiwakematian dan bencana, dijadikan satu dengan sistem rodi itu? Rupa-rupanya sejarah mulai waktu Panitnya persiapan Kemerdekaan dalam zaman Jepang, menganngkat konsep itu menjadi suatu unsur yang amat penting dalam rangkaian prinsip-prinsip dasar dari negara kita.
B. Saran
                        Kebudayan sangat erat hubunganya dengan msyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya dalam mempertahankan hidup, menembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmani serta sumber-sumberalam yang ada disekitarnya.kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwududan tanggapan manusia terhadap tatangn yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan.




DAFTAR PUSTAKA

Mahmudah. 2001”Citra Perempuan dalam Media Masa: Upaya Peneretaraan Gender”. Munusia dan Dinamika Budaya. Yogyakarta.
Strinati, Dominic. 1995 popular culture : An Introduction to Tbeories of Popular Culture. London : Routledge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll