Pranata Upacara Selamatan
Masyarakat Jawa
Pengertian Dan Tata Cara Upacara Selamatan
Seseorang yang
merasa mendapatkan anugerah atau karunia dari Tuhan, tentu akan
bersyukur. Salah satu kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya adalah upacara
adat jawa menyelenggarakan selamatan, yaitu suatu acara pengiriman doa bagi
yang melakukan selamatan. Dengan kata lain,
Selamatan atau selametan adalah sebuah tradisi ritual yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan tujuan untuk memperoleh keselamatan bagi orang
yang bersangkutan. Clifford Geertz (1969: 126) antara lain menulis tentang
selamatan sebagai upacara kecil di dalam sistem religius jawa. Acara ini
biasanya dihadiri oleh para tetua desa, tetangga dekat, sanak saudara, dan
keluarga inti. Setelah selamatan selesai, tetamu biasanya akan dibawakan aneka
penganan basah (nasi, lauk pauk, dan tambahan snack atau
kue-kue) atau makanan kering (mi instan, kecap, minyak goreng, saus tomat, saus
sambal) yang dinamakan besekan atau berkat.
Upacara
selamatan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari
mala petaka. Selametan adalah konsep universal, diamana di setiap tempat pasti
ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang lemah di
hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Secara tradisional acara
selamatan dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar,
melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk dan sesaji ( kalau ada). Sesaji
yang diadakan untuk mengiringi upacara selamatan tersebut, maksud dan tujuannya
adalah seperti doa. Intinya adalah bersyukur kepada Gusti, Tuhan
dan semoga dengan berkah-Nya, segala tugas akan dilaksanakan dengan selamat,
baik, benar dan membawa kesejahteraan dan kemajuan yang lebih baik. Nasi
tumpeng komplit sebenarnya mempunyai makna sebagai doa dan sesaji.
Praktik upacara
selamatan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz pada umumnya dianut
oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik
selamatan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang
unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena
itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang
pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama
sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari
Allah Yang maha Kuasa.
Pada upacara
selamatan, yang menjadi pesertanya bukan sekedar dari orang-orang yang masih
hidup, tetapi turut juga diundang orang-orang yang sudah mati yang disebut
dengan roh-roh leluhur (baca definisi selamatan menurut Clifford Geertz). Yang
dimaksud dengan roh-roh leluhur adalah nenek moyang mereka atau para pendahulu
mereka yang sudah mati dan pernah berjasa pada mereka. Mereka itu misalnya
orang-orang yang telah berjasa dalam mendirikan suatu desa atau cakal
bakal desa, yang biasanya kemudian disebut sebagai danyang
desa. Selain itu juga orang-orang yang pernah mendirikan suatu
kerajaan dan berjasa dalam memakmurkannya. Juga wali sangayang
dianggap berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa bahkan Nabi Muhammad
sebagai penyebar Islam di seluruh dunia. Di samping itu juga roh-roh leluhur
yang menjadi penghuni alam sekitar, misalnya roh penghuni rumah, roh penghuni
jembatan, roh penghuni perempatan, roh penghuni sumur, roh penghuni kuburan dan
roh-roh yang baik maupun yang jahat semuanya diundang guna dimintai
pertolongannya agar berkenan merestui dan tidak mengganggu.
Jenis-Jenis
Upacara selamatan
Upacara
selametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian, termasuk kelahiran,
kematian, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Geertz mengkategorikan
mereka ke dalam empat jenis utama:
- Yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian.
- Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam, misalnya Maulid Nabi.
- Bersih desa (“pembersihan desa”), berkaitan dengan integrasi sosial desa.
- Kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Perkembangan
ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan pengaruh luar/asing selalu membawa
perubahan termasuk dalam upacara tradisional/selamatan. Adapun selamatan yang
masih dilakukan yaitu:
1. Upacara tingkeban atau mitoni. Pada acara tingkeban atau mitoni
biasanya diadakan selamatan untuk usia kandungan tujuh bulan. Tujuan mitoni atau tingkeban
agar ibu dan janin selalu dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan
(wilujeng, santosa, jatmika, rahayu
2. Babaran. Dekat menjelang kelahiran,
beberapa orang mengadakan slamatan kecil dengan anggota keluarga saja, yang
hidangannya terdiri dari sepiring jenang dengan sebuah pisang yang telah
dikupas ditengahnya untuk melambangkan kelahiran yang lancar.
3. Sepasaran. Lima hari sesudah selamatan
pertama untuk bayi diselenggarakan, sebuah selamatan yang agak lebih besar,
pasaran dan pemberian nama si bayi.
4. Selapan. Saat bayi berumur 35 hari, diadakan upacara selapanan.
Acara ini biasanya juga diadakan acara selamatan. Pada upacara ini, untuk
pertama kali bayi dipotong rambutnya. Biasanya yang memotong adalah nenek si
bayi.
5. Tedhak siten. Slametan pada acara tedhak siten
ini dilakukan saat bayi berumur 6 lapan atau pitung weton. Sarana
pada slametan ini adalah beras kuning yang dicampur dengan uang anggris
‘ringgit’, wukon ‘uang setengan rupiyah, talen salaka ‘uang
25 sen yang terbuat dari logam berwarna putih’, padi satu gengam, dan kapas
satu dhompol.
6. Sunat. Upacara selamatan pada acara sunatan
biasanya dilakukan saat anak laki-laki berusia 16 tahun. Sunat merupakan
kewajiban bagi para pemeluk agama Islam.
7. Weton atau wetonan adalah peringatan hari
lahir setiap 35-tiga puluh lima hari sekali. Pada waktu-waktu tertentu, orang
melakukan peringatan weton dengan cara mengadakan selamatan
dengan mengundang beberapa kerabat atau kenalan baiknya. Pada saat seperti itu,
biasanya sesaji lebih komplit, termasuk nasi tumpeng dan lauk pauknya dan lain
sebagainya. Sesudah diadakan doa bersama, dilanjutkan dengan menyantap
hidangan.
8. Perkawinan. Di dalam islaman, selamatan
perkawinan disebut juga midadareni, diselenggarakan pada malam hari menjelang
upacara yang sebenarnaya.
9. Kematian. Selamatan ini untuk
menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal. Perjalanan selamatan ini
mendapat pengaruh ajaran Hindu dan Budha. Akan tetapi, yang diganti itu
hanyalah mantranya/doanya. Prinsip dari selamatan itu sendiri masih tetap. Dan
setelah Islam masuk, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sedangkan
upacara selamatan yang sering dilakukan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari
masyarakat Jawa antara lain:
- Nyadran: yaitu upacara yang diadakan pada bulan Ruwah (bulan menjelang puasa) yang dilakukan secara bergotong royong membersihkan makam keluarganya dan bersaji.
- Memetri desa: yaitu upacara yang diadakan di desa-desa setelah panen padi, biasanya dipertunjukkan wayang kulit dengan cerita Dewi Sri.
- Suran: yaitu upacara yang diadakan oleh masyarakat Jawa pada malam 1 syuro (tahun barun hijrah) yang diselenggarakan dengan sajian wayang kulit semalam suntuk dan diusahakan pada malam itu tidak tidur.
- Sedekah laut: yaitu upacara yang dilakukan oleh masyarakat nelayan pada setiap bulan Suro untuk memberi persembahan kepada penguasa laut Selatan (Nyai Roro Kidul) yang berupa hasil ternak, pertanian, dan perlengkapan lain yang diletakkan dalam sebuah kapal hias.
Disamping
upacara yang telah diuraikan diatas, keluarga jawa juga mengenal pula berbagai
upacara selamatan lain yang disebabkan oleh kasus tertentu. Misalnya selamatan
dalam rangka lingkaran hidup seseorang, selamatan yang bertalian dengan bersih
desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen, dan selamatan pada
saat-saat tidak tertentu atau yang berkenaan dengan kejadian-kejadian seperti
mengadakan perjalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak bahaya
(ngurawat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain. Tujuannya tidak
lain untuk memperoleh keselamatan bagi orang yang bersangkutan khususnya dan
bagi keluarga pada umumnya. Tujuan pokok dari upacara ini tidak lain adalah
untuk mencari keselamatan.
Kegiatan
selametan menjadi tradisi hampir seluruh kehidupan di padusunan jawa. Ada
bahkan yang meyakini bahwa selametan adalah syarat spiritual yang wajib dan
jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan.
Selametan adalah
konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda-beda.
Nama-nama yang berbeda-beda tersebut anara lain adalah:
Bancaan adalah upacara sedekah makanan karena suatu hajat
leluhur, yaitu yang berkaitan dengan problem dum-duman ‘pembagian’ terhadap
kenikmatan, kekuasaan, dan kekayaan. Maksudnya agar terhindar dari konflik yang
disebabkan oleh pembagian yang tidak adil.
Kenduren/Kenduri adalah upacara sedekah makanan karena seseorang telah
memperoleh anugrah atau kesuksesan sesuai dengan apa yag dicita-citakan.
Dalam hal ini kenduren mirip dengan acara tasyakuran. Acara kenduren
bersifat porsonal. Undangan biasanya terdiri dari kerabat, kawan sejawat, dan
tetangga.
Perkembangan
Upacara Selamatan Pada Masa Sekarang
Upacara-upacara
selamatan sebagai salah satu wujud budaya, selalu mengalami perubahan-perubahan
dan perkembangan-perkembangan. Hal ini disebabkan adanya perubahan pola pikir
dari masyarakat pemangku budaya, teknologi dan agama. Perubahan pola pikir,
teknologi, dan agama ini akan berpengaruh secara langsung terhadap sarana dan
prosesi dalam upacara selamatan. Meskipun demikian namun ternyata masih ada sebagian
masyarakat Jawa yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional. Hal tersebut
terlihat dengan adanya pelaksanaan berbagai macam upacara, misalnya kematian,
pendirian rumah, dan lain-lain, termasuk upacara panggih. Sebagian masyarakat
tradisional ini, takut meninggalkan kebiasaan yang telah mengakar dalam
segi-segi kehidupan mereka, dan masih setia mempertahankan tradisi peninggalan
leluhurnya.
Pada awalnya
upacara selamatan dipengaruhi unsur Animisme-Dinamisme yang paling menonjol
pada pelaksanaan selamatan, terutama selamatan yang dilaksanakan oleh orang
Islam kejawen. Dalam pola umum selamatan yang mereka lakukan, yang
terdiri dari peserta selamatan, do’a dan hidangan atau sajian, di dalamnya
nampak unsur-unsur Animisme-Dinamisme yang cukup menonjol. Upacara selamatan
yang berasal dari kepercayaan Indonesia asli (Animisme-Dinamisme),
setelah mendapat pengaruh dari Hindu-Budha, pada perkembangan berikutnya juga
mendapat pengaruh dari Islam. Unsur Islam memang tidak begitu menonjol, akan tetapi
dalam beberapa hal, Islam cukup besar peranannya dalam memodifikasi selamatan.
Dalam beberapa jenis selamatan ada yang mengesankan bahwa selamatan itu
seolah-olah dari budaya Islam semata. Lebih-lebih jika yang menyelenggarakan
selamatan itu dari kalangan Islam santri. Biasanya dari kalangan
santri, praktik selamatan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali
dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa,
roh-roh, dan sesaji. Namun pada masa sekarang, hal tersebut tidak hanya
dilakukan oleh para santri saja namun juga hampir seluruh masyarakat jawa tidak
mengadakan sesaji pada upacara selamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar