Upacara Siraman Adat Jawa
Siraman
adalah upacara adat ritual warisan nenek moyang kita yang mengandung banyak
falsafah di dalamnya. Dalam tiap langkah pada prosesi siraman dimaknakan agar
para calon pengantin membersihkan diri dan hati sehingga semakin mantap untuk
melangsung pernikahan esok harinya. Pada upacara yang lebih bersifat intern ini
seluruh keluarga besar berkumpul, berbagi suka, memberikan doa restu dan
dukungan moral pada sang calon pengantin untuk memasuki fase baru dalam
kehidupannya.
Perlengkapan
acara Siraman terdiri dari: Gayung Siraman, untaian padi kuning keemasan
yang menyertai gayung tersebut melambangkan merunduk dan mengayomi keluarga. Bubur
Sengkolo memiliki arti sebagai penolak bencana sehingga semua dapat
berjalan lancar; Selain itu terdapat rebusan umbi umbian yang tumbuh dalam
tanah (lebih dikenal dengan nama polo pendem) dimaknakan agar rumah
tangga yang nanti akan dibina oleh sang pengantin akan mempunyai pondasi yang
kuat.
Terdapat pula
rangkaian buah kulit; Kendi air siraman tempat air kucuran wudhu; Tumpeng
Robyong yang bermakna harapan akan keselamatan, kesuburan dan
kesejahteraan; Tumpeng untuk acara suapan terakhir; serta tidak ketinggalan Kreweng,
yaitu uang dari tanah liat yang akan digunakan untuk membeli cendol dalam acara
“dodol dawet“.
Yang perlu
dipersiapkan juga yaitu mangkuk air bunga dan gunting untuk upacara potong
rambut setelah siraman, serta sekop mini penggali lubang untuk upacara tanam
rikmo (tanam rambut). Apabila si empunya hajat menyediakan tanda mata
(souveneer) bagi para sesepuh yang nanti akan menyirami atau untuk para undangan
acara siraman, sebaiknya juga telah dipersiapkan.
Air Siraman dan Pemasangan Bleketepe
Kegiatan
diawali dengan menyiapkan air siraman yang berasal dari 7 sumber ke dalam
gentong. Sumber air siraman biasanya diambil dari rumah besan, rumah pini sepuh,
dan rumah adat yang kemudian diaduk dengan campuran bunga.
Sambil
menunggu calon mempelai puteri bersiap-siap untuk siraman, sang Ayah melakukan
pemasangan bleketepe (anyaman daun kelapa) sebagai tarub pada gerbang
rumah. Pemasangan tarub dimaknakan sebagai tanda resmi bahwa akan ada hajat
mantu di rumah yang bersangkutan.
Tata cara
memasang tarub adalah sang Ayah menaiki tangga, sementara Ibu memegangi tangga
sambil membantu memberikan bleketepe. Tatacara ini menjadi perlambang gotong
royong kedua orang tua yang menjadi pengayom keluarga.
Sejarah
mengenai kegiatan pemasangan tarub ini dimulai pada saat Ki Ageng Tarub, salah
satu leluhur raja-raja Mataram mempunyai hajat menikahkan anaknya Dewi
Nawangsih dengan Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng membuat peneduh dari anyaman
daun kelapa. Hal itu dilakukan karena rumah Ki Ageng yang kecil tidak dapat
memuat semua tamu, sehingga tamu yang diluar rumah diteduhi dengan payon daun
kelapa itu. Dengan diberi ’payon’ itu ruang yang dipergunakan untuk para tamu
Agung menjadi luas dan menampung seluruh tamu. Kemudian payon dari daun kelapa
itu disebut ’tarub’, berasal dari nama orang yang pertama membuatnya.
Setelah
selesai memasang tarub, kain penutup tuwuhan di kedua sisi gerbang
masuk di buka. Tuwuhan mengandung arti suatu harapan kepada anak yang
dijodohkan agar dapat memperoleh keturunan, untuk melangsungkan sejarah
keluarga.
Tuwuhan terdiri dari :
- Pohon pisang raja yang buahnya sudah masak. Maksud dipilih pisang yang sudah masak adalah, diharapkan pasangan yang akan menikah telah memiliki pemikiran dewasa atau telah masak. Sedangkan pisang raja mempunyai makna pengharapan agar pasangan yang akan dinikahkan kelak mempunyai kemakmuran, kemuliaan dan kehormatan seperti raja.
- Tebu wulung berwarna merah. Dimaknakan sebagai sumber rasa manis. Hal ini melambangkan kehidupan yang serba enak. Sedangkan makna wulung bagi orang Jawa berarti sepuh atau tua. Setelah memasuki jenjang perkawinan, diharapkan kedua mempelai mempunyai jiwa sepuh yang selalu bertindak dengan ’kewicaksanaan’ atau kebijakan.
- Cengkir Gadhing merupakan simbol dari kandungan tempat jabang bayi atau lambang keturunan.
- Daun randu dan Pari Sewuli Randu melambangkan sandang, sedangkan pari melambangkan pangan. Sehingga hal itu bermakna agar kedua mempelai selalu tercukupi sandang dan pangannya.
- Godhong apa-apa (bermacam-macam dedaunan) Seperti daun beringin yang melambangkan pengayoman, rumput alang-alang dengan harapan terbebas dari segala halangan
Jalannya Acara Siraman
Acara siraman
diawali dengan sungkem calon pengantin kepada orang tua untuk mohon doa restu.
Setelah itu calon pengantin dibimbing ke tempat siraman yang sudah disiapkan.
Siraman
dimulai dari kedua orang tua pengantin diikuti oleh pini sepuh yang telah
dipilih. Air wudhu lalu dikucurkan oleh sang ayah dari kendi siraman. Kemudian
kendi dipecahkan oleh kedua orang tua sebagai tanda pecahlah pamor sang anak
sebagai wanita dewasa dan memancarlah sinar pesonanya.
Acara potong
rambut, diikuti dengan menggendong ananda ke dalam rumah melambangkan kasih
sayang orang tua yang senantiasa mengiringi anaknya sampai detik terakhir
menjelang tahap baru kehidupan sang anak.
Dodol Dawet
Sementara
menunggu calon pengantin wanita berganti busana, seluruh keluarga berkumpul
menyiapkan tumpeng untuk acara suap-suapan di akhir acara. Adik-adik tercinta
lalu membagikan uang kreweng untuk digunakan pada acara jual cendol
(dodol dawet).
Makna dodol
dawet diambil dari cendol yang berbentuk bundar, diartikan sebagai lambang
kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan anaknya. Bagi orang yang akan
membeli dawet tersebut harus membayar dengan kreweng (pecahan genting)
bukan dengan uang. Hal itu menunjukkan bahwa kehidupan manusia berasal dari
bumi.
Yang melayani
pembeli adalah ibu sedangkan yang menerima pembayaran adalah ayah. Hal ini
mengajarkan kepada anak mereka yang akan menikah tentang bagaimana mencari
nafkah, bahwa sebagai suami istri harus saling membantu. Dibalik itu ada juga
makna jenaka dari acara ini, yaitu simbolisasi kalau esok hari pada saat akad nikah
dan resepsi, tamu-tamu yang datang akan sebanyak dan seramai jualan
cendol/dawet tersebut!
Tanam Rambut dan Pelepasan Ayam
Selanjutnya
upacara dilanjutkan dengan tanam rikmo/rambut oleh orang tua. Yang ditanam
adalah potongan rambut kedua calon mempelai, dilakukan setelah wakil keluarga
calon pengantin wanita kembali dari kediaman calon pengantin pria dengan
membawa potongan rambut.
Pelepasan
Ayam Jantan hitam merupakan prosesi selanjutnya yang berarti bahwa orang tua
sudah dengan sepenuh hati ikhlas melepas putrinya untuk hidup mandiri. Bagaikan
Ayam yang begitu dilepas sudah dapat mencari/mengais makanan sendiri,
diharapkan untuk ke depannya sang anak dapat hidup mandiri, memperoleh rejeki
yang luas dan barokah.
Suapan
Di penghujung
acara, calon pengantin wanita yang telah berganti busana menerima uang kreweng
hasil penjualan dodol dari Ibunda. Melambangkan pengajaran sang Ibu tentang
bagaimana hidup mandiri dan mengatur nafkah pada kehidupan perkawinan. Suapan
terakhir dan cium sayang dari kedua orang tua mengakhiri rangkaian acara
siraman adat Jawa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar